Kisah-kisah Pejuang Masa Revolusi, Berikut Empat Bacaan Rekomendasi Bulan Kemerdekaan
Jakarta, DItjen Vokasi PKPLK - Agustus selalu jadi bulan penuh semangat, bukan hanya karena bendera merah putih berkibar di mana-mana, tetapi juga karena kita diajak mengenang lagi bagaimana perjuangan kemerdekaan lahir dari keberanian, pengorbanan, dan juga keraguan manusia biasa. Empat karya sastra Indonesia ini bisa jadi teman baca yang pas bagi Sobat Vokasi untuk menambah makna bulan kemerdekaan.
Ada Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma kumpulan cerpen karya Idrus yang penuh satire dan realisme pahit tentang zaman Jepang hingga revolusi. Lalu novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, kisah seorang guru sederhana yang harus berani melawan rasa takutnya di tengah perang. Tak kalah menarik, Kadarwati Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana menghadirkan sosok perempuan yang harus berganti identitas demi bertahan hidup. Karya sastra lain mengenai periode perjuangan kemerdekaan Indonesia juga membuka mata kita pada wajah revolusi dari sisi orang-orang biasa.
Membaca karya-karya ini di bulan Agustus rasanya seperti ikut menyusuri jalan panjang menuju kemerdekaan: penuh luka, cinta, tawa getir, sekaligus keberanian. Ringan dibaca, tapi dalam maknanya. Cocok sekali untuk mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil dari perjuangan yang nyata.
Di Tepi Kali Bekasi (1951) karya Pramoedya Ananta Toer
Novel ini ini merekam perjuangan pemuda Indonesia di front Jakarta Timur sekitar Bekasi pada masa revolusi 1945. Tokoh utamanya, Farid, bersama kawan-kawan seperjuangan menghadapi pasukan Belanda dan Inggris. Kisah ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Pramoedya, meski sebagian naskah aslinya hilang disita Nefis, intelijen Belanda. Novel ini menampilkan semangat angkatan muda revolusi yang menempatkan kemerdekaan bangsa di atas segalanya, sekaligus menggambarkan penderitaan rakyat Bekasi sebagai latar perjuangan. Dengan gaya yang lebih menyerupai lukisan kehidupan ketimbang struktur novel konvensional, Pramoedya meramu potret kepahlawanan, konflik generasi tua dan muda, hingga pengorbanan pribadi demi perjuangan. Bagi kritikus Umar Junus, novel ini tidak sekadar mengangkat tokoh Farid, tetapi juga dunia sosial dan moral masyarakat yang terlibat dalam revolusi. Cinta hampir tak mendapat tempat; yang menonjol adalah pertaruhan hidup-mati, semangat kemanusiaan, dan kesetiaan pada cita-cita kemerdekaan. Novel pun dibuka dan diakhiri di tepi Kali Bekasi, menegaskan ruang perjuangan yang sekaligus menjadi simbol sejarah rakyat.
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948) karya Idrus
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma adalah kumpulan sebelas cerpen dan satu drama karya Idrus yang pertama kali terbit di Balai Pustaka tahun 1948. Karya ini merekam pengalaman masyarakat Indonesia dari masa pendudukan Jepang hingga revolusi kemerdekaan, terbagi dalam tiga bagian besar: “Zaman Jepang”, “Corat-coret di Bawah Tanah”, dan “Sesudah 17 Agustus 1945”. Kumpulan cerpen ini menempati posisi penting dalam sejarah sastra Indonesia modern Cerpen-cerpennya, seperti Heiho dan Kota Harmoni, berulang kali dimuat kembali dalam antologi, bahan ajar, serta kajian kritis. H.B. Jassin menilai kumpulan ini berhasil memadukan romantisme, realisme satir, hingga epos kepahlawanan, sekaligus menghadirkan kesederhanaan hidup yang menyentuh. Dengan cetakan ulang hingga puluhan kali, karya ini membuktikan daya tarik dan ketahanan estetiknya. Idrus melalui kumpulan ini tidak hanya mendokumentasikan sebuah zaman, tetapi juga meneguhkan peranannya sebagai salah satu pelopor cerpen modern Indonesia.
Jalan Tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis
Novel ini mengisahkan pergulatan batin Guru Isa, seorang guru yang hidup dalam ketakutan akibat trauma pendudukan Jepang dan perang. Diam-diam ia membantu gerilyawan sebagai kurir, meski di balik keberanian kecil itu ia menyembunyikan rasa cemas dan disfungsi psikologis. Hidupnya makin rumit ketika istrinya, Fatimah, terlibat hubungan singkat dengan Hazil, sahabat sekaligus pemuda gerilyawan yang awalnya gagah berani. Novel ini menampilkan paradoks: Hazil yang penuh semangat revolusi justru runtuh dalam siksaan Belanda dan mengkhianati kawan-kawannya, sementara Isa yang penakut menemukan keberanian sejati saat ditangkap dan disiksa. Musik, terutama biola yang dimainkan Hazil dan Isa, menjadi simbol pelipur sekaligus ironi. Melalui novel ini Mochtar Lubis meramu kisah perang dengan drama psikologis tentang ketakutan, pengkhianatan, dan keberanian. Judul Jalan Tak Ada Ujung melambangkan perjalanan bangsa dan manusia yang penuh luka tanpa kepastian akhir. Novel yang dianggap sebagai karya terbaik Lubis ini meraih penghargaan nasional, diterjemahkan ke berbagai bahasa, banyak dikaji dalam studi sastra, dan diadaptasi ke film Perang Kota (This City is a Battlefield).
Kadarwati Wanita dengan Lima Nama (1982) karya Pandir Kelana
Novel Pandir Kelana ini mengisahkan perjalanan hidup Kadarwati, seorang perempuan cerdas dan cantik yang bercita-cita menjadi dokter, namun terjebak dalam pusaran penjajahan Jepang. Berangkat ke Singapura dengan harapan belajar kedokteran, ia justru dijadikan kepala rumah tangga para perwira Nippon. Dari Harada yang penuh kasih, hingga Nakamura yang kejam, hingga Jenderal Nizizumi, hidup Kadarwati terus dipenuhi pengkhianatan, cinta, pelecehan, sekaligus perjuangan. Dalam penderitaannya, ia kerap berganti nama: Astuti, Mbok Jakem, hingga akhirnya Ibu Mirah. Setiap nama menandai babak baru dari hidupnya yang penuh luka, dendam, dan perlawanan. Dari menjadi pelayan perkebunan, perempuan simpanan, hingga mata-mata pejuang Republik, Kadarwati menggunakan kecerdikan dan keberaniannya untuk membalas kekejaman Jepang. Aksi paling berani dilakukannya ketika membius dan membakar hidup-hidup para perwira Nippon di sebuah kurabu. Novel ini menampilkan Kadarwati bukan sebagai sosok heroik tunggal, melainkan potret kepahlawanan perempuan biasa yang bertahan, melawan, dan memberi makna pada perjuangan bangsanya. (Esha/NA)