Gelar Wicara Gelar Karya Vokasi PKPLK 2025 Soroti Koding dan KA untuk Semua Anak

Gelar Wicara Gelar Karya Vokasi PKPLK 2025 Soroti Koding dan KA untuk Semua Anak

Jakarta, Ditjen Vokasi PKPLK – Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus (Ditjen Diksi PKPLK) menggelar Gelar Wicara (Talkshow) bertajuk “Teknologi Tanpa Batas: Koding untuk Semua Anak” dalam rangkaian agenda Gelar Karya Vokasi PKPLK 2025 di Plaza Insan Berprestasi, Gedung A, Kompleks Kemendikdasmen, Rabu (17/12) siang. Gelar Wicara ini menjadi ruang berbagi praktik baik sekaligus penguatan pemahaman mengenai pentingnya pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial (KA) di satuan pendidikan vokasi PKPLK.


Melalui Gelar Wicara ini, Ditjen Diksi PKPLK menegaskan komitmennya dalam mendorong transformasi digital pendidikan yang inklusif. Pembelajaran koding dan KA diposisikan tidak hanya sebagai keterampilan teknis, tetapi juga sebagai sarana membangun cara berpikir komputasional, literasi digital, serta karakter peserta didik dalam menghadapi tantangan masa depan.


Salah satu narasumber, Mochamad Amin Maezun Ta’sin Billah, guru SMKN 1 Karangdadap, Pekalongan, menekankan bahwa pembelajaran koding dan KA merupakan kebutuhan yang sudah semestinya diterapkan di sekolah. Menurutnya, koding dan KA membuka wawasan serta dunia baru bagi peserta didik untuk mengenali potensi diri dan membangun jejaring.


“Aktivitas pembelajaran koding dan KA pantas dan wajib diterapkan di sekolah. Pembelajaran ini membuka dunia baru bagi anak-anak, karena melalui koding dan KA mereka berelasi, berjejaring, dan menemukan potensi diri mereka,” ujarnya.




Ia juga menepis anggapan bahwa pembelajaran koding dan KA bersifat rumit dan menakutkan. Menurutnya, koding justru menjadi sarana membangun kesadaran diri peserta didik, terutama di tengah intensitas interaksi mereka dengan dunia digital.


“Pembelajaran KA itu sebenarnya upaya membangun kesadaran murid. Dengan belajar koding dan KA, mereka belajar tentang pribadinya sendiri. Pembelajaran yang baik justru bisa membentuk pribadi yang kuat,” tambahnya.


Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa koding mengajarkan murid untuk berpikir terstruktur dan komputasional melalui barisan perintah yang sederhana. Pendekatan ini membantu peserta didik melihat persoalan besar secara lebih mudah dan tidak menakutkan. Karena itu, strategi awal pembelajaran koding dan KA di SMK dimulai dengan membangun mindset bahwa koding adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.


“Ketika anak-anak membuka media sosial lalu muncul sesuatu yang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan, itu adalah algoritma. Dari situ kami membangun kesadaran bahwa koding ada di sekitar mereka, dan mereka perlu melek literasi digital,” jelasnya.


Perspektif pendidikan inklusif juga mengemuka melalui paparan Eni Wulandari, guru SLBN 2 Gunungkidul. Ia membagikan pengalaman penerapan koding dan KA bagi peserta didik berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan down syndrome dan hambatan intelektual.




“Dulu orang berpikir koding itu hanya untuk menjadi programmer. Kami pun sempat bertanya, apakah mungkin untuk anak-anak di sekolah kami? Ternyata koding bisa diterapkan bahkan untuk anak-anak down syndrome,” ungkapnya.


Menurut Eni, koding dan KA dapat menjadi aktivitas yang menyenangkan sekaligus bermakna bagi murid SLB karena membantu mereka memecah hal-hal kompleks menjadi langkah-langkah sederhana yang mudah dipahami. Pendekatan ini kemudian diintegrasikan ke dalam aktivitas keseharian murid.


“Koding itu kode, memecah sesuatu yang kompleks menjadi detail-detail kecil. Anak-anak kami membutuhkan hal-hal yang sederhana dan terstruktur,” jelasnya.


Ia mencontohkan penerapan koding dalam aktivitas dasar seperti masuk kelas atau mencuci tangan, yang diajarkan melalui urutan langkah yang jelas agar murid dapat melakukannya secara mandiri. Untuk murid SLB yang sudah masuk jalur vokasi, koding dan KA juga dimanfaatkan sebagai alat bantu pembelajaran keterampilan hidup, termasuk penggunaan mata uang dengan dukungan teknologi AI.




Dalam praktiknya, strategi pembelajaran koding di SLB dilakukan secara sangat personal dengan menyesuaikan karakteristik dan usia mental masing-masing murid. Pendekatan visual dan alat bantu yang disukai murid menjadi kunci keberhasilan pembelajaran.


Gelar Wicara ini menjadi bukti bahwa pembelajaran koding dan KA dapat diterapkan secara luas, adaptif, dan inklusif di berbagai satuan pendidikan. Melalui Gelar Karya Vokasi PKPLK 2025, Ditjen Diksi PKPLK berharap praktik-praktik baik tersebut dapat menginspirasi satuan pendidikan lain untuk mengembangkan pembelajaran teknologi yang ramah, kontekstual, dan berkeadilan bagi semua anak. (Esha/NA/AS)