Pegiat Literasi Jadi Garda Depan Pembelajaran Mendalam di Era Digital

Pegiat Literasi Jadi Garda Depan Pembelajaran Mendalam di Era Digital

Serpong, Ditjen Vokasi PKPLK – Direktorat Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Informal (PNFI), Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menyelenggarakan rangkaian Lokakarya Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Informal serta Penyampaian Terbatas (Soft Launching) Hari Aksara Internasional (HAI) 2025 pada Selasa (9/9) di Serpong. Salah satu tema diskusi yang menarik diangkat adalah terkait “Pembelajaran Mendalam untuk Masyarakat Belajar: Strategi PNFI di Era Digital”.  


Diskusi ini sekaligus dan menjadi forum untuk memperkuat paradigma baru pendidikan nonformal dan informal, yaitu untuk menempatkan proses pembelajaran sebagai ruang berkesadaran, bermakna, dan menyenangkan yang dijalankan secara holistik.


Fitri Fathia Paramita Kinanti dari PKBM Hutuo Lestari selaku salah seorang narasumber dalam diskusi tersebut menegaskan bahwa peran pegiat literasi sangat penting dalam proses ini. 


“Pegiat literasi tidak hanya menyediakan buku, tetapi juga membuka jendela dunia bagi masyarakat. Tantangan kita bukan lagi sekadar mengajarkan orang bisa membaca, tetapi bagaimana menjadikan mereka pembelajar mendalam yang mampu menafsirkan, mengolah, dan memanfaatkan pengetahuan,” katanya.


Ia memaparkan beberapa proses pembelajaran mendalam terkini yang dapat dilakukan oleh lembaga PNFI maupun para pegiat literasi. Misalkan, pada jenis pembelajaran mendalam penguasaan konten inti, pembelajaran tradisional seperti membaca buku di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tetap menjadi fondasi. 


Namun, di era digital, proses ini dapat diperluas melalui praktik verifikasi informasi. Peserta, terang Fitri, dapat diajak menonton tutorial menanam hidroponik di YouTube, lalu mencocokkannya dengan artikel dari situs pertanian terpercaya. Dengan demikian, mereka tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga belajar mengecek keabsahannya.


“Contoh lain terkait pembelajaran mendalam proses berpikir kritis dan pemecahan masalah tentang isu lingkungan. Dalam pembelajaran tradisional bisa dilakukan dengan membaca buku tentang isu lingkungan. Namun, kini warga belajar bisa diajak mencari data dan alternatif solusi mengenai permasalahan sampah dari berbagai sumber digital, kemudian mengolah temuan mereka dalam bentuk presentasi digital,” terangnya sembari menegaskan bahwa bahwa berpikir kritis bukan hanya soal mengidentifikasi masalah, tetapi juga menyusun langkah pemecahan yang berbasis data.


Fitri juga mencontohkan bagaimana pembelajaran mendalam terkait diskusi yang biasanya dilakukan di Taman Baca Masyarakat (TBM), tetapi kini bisa diperluas melalui platform digital.


“Warga dapat diajak untuk membentuk grup WhatsApp atau Telegram untuk melanjutkan percakapan literasi, sekaligus berkolaborasi membuat peta pikiran dengan aplikasi Miro atau Google Jamboard. Proses ini mendorong keterampilan bekerja sama sekaligus pemanfaatan teknologi kolaboratif,” tuturnya. (Esha/NA)