Bintari: Jejak Kartini Masa Kini, dari Kursus Jahit jadi Penggerak Ekonomi Lokal
Trenggalek, Ditjen Vokasi PKPLK - Suara mesin jahit menjadi musik terbaik bagi Bintari Inka Savitri. Benang dan jarum seolah menjadi sahabat baginya pula. Di tengah lihai tangannya meramu kain demi kain dan keterbatasan penglihatannya, ia mampu mewujudkan mimpi memiliki usaha jahit sendiri dengan omzet dua digit dari brand-nya, yaitu Wintanif.
Perempuan muda usia 24 tahun tersebut semakin melesatkan mimpinya dengan kursus menjahit di Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Tatik Modes melalui program Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW). Pada awalnya, ia hanya buruh jahit biasa yang tak berani bermimpi banyak. Akan tetapi, ia pun mendapatkan kesempatan baru dan resign dari pekerjaannya.
“Dulu saya ikut menjahit di usaha milik orang lain terlebih dahulu. Padahal, saya ingin membuat usaha sendiri, tetapi belum memiliki modal,” ujar Bintari mengawali cerita.
Program PKW yang gratis merupakan angin segar bagi Bintari. Berasal dari keluarga menengah ke bawah, ia tidak memerlukan banyak biaya untuk mengikuti kursus yang intensif. Ia menyadari sebelum membuka usaha, ada keterampilan yang harus ditingkatkan dan ada modal pula yang harus diusahakan.
Kisah Bintari Mengosongkan Gelas
Walaupun sudah cukup mahir dalam menjahit, Bintari tetap bersemangat mengikuti pelatihan. Baginya, belajar itu seperti mengosongkan gelas. Hal tersebut memberikannya ruang untuk menerima ilmu dan keterampilan baru dari orang lain.
“Dahulu saya memang belajar menjahit otodidak, tapi dengan melalui kursus ternyata ada cara-cara baru, teknik menjahit yang lebih bagus, sera pelatihan soft skills lainnya. Istilahnya kayak unlearn dan relearn,” ungkap Bintari.
Bintari pun merasa terbantu dengan LKP Tatik Modes yang sangat memfasilitasi dirinya untuk belajar menjahit. Pelatihan kurang lebih dua bulan tersebut pun membuat Bintari mempelajari mengenai keuangan dan pemodalan sehingga sangat membantunya dalam merintis usaha.
“Saya belajar bikin pola dasar sampai dengan pecah pola. Saya juga jadi tahu seperti apa itu dunia fesyen. Bahkan, selepas pelatihan saya mendapatkan modal usaha, mesin jahit yang dulunya saya tak punya,” ujar Bintari antusias.
Dengan semangat yang tinggi itu, Bintari tetap mengalami banyak tantangan. Rumahnya yang berada di daerah pegunungan membutuhkan waktu 40 menit ke tempat kursus. Bahkan, Bintari pernah terjatuh dari motor saat akan menuju LKP untuk praktik menjahit. Akan tetapi, rasa sakitnya tersebut pun menjadi “pecutan” untuk tetap semangat hingga akhirnya ia berhasil menuntaskan pelatihan dan membuka usaha jahit sendiri.
Omzet 3—4 Kali Upah Minimum Kabupaten (UMK) Trenggalek
Bagi Bintari, mengikuti program PKW adalah titik terbaik dalam hidupnya. Berkat pelatihan, ia pun mulai dipercaya oleh orang-orang disekitarnya untuk permak baju dan membuat baju. Terlebih dengan kerapian jahitannya serta kreatif dalam mendesain, ia semakin dikenal dan memiliki banyak pelanggan.
“Awalnya dari mulut ke mulut, di kampung saya cuma saya yang punya usaha jahit. Alhamdulillah, berkat media sosial juga, saya menerima jahitan di luar kampung bahkan dari luar kota, seperti Surabaya, Padang, bahkan Papua,” jelas Bintari.
Bintari bercerita, usaha jahitnya selalu kebanjiran order, terutama di hari-hari besar, seperti hari raya, musim pernikahan untuk membuat baju bridesmaid, ataupun wisuda. Lewat pemasaran daring di Instagram @wiintanif, ia pun pernah menerima orderan seragam gamis, kurang lebih 50 gamis untuk pengajian. Saat momen lebaran kemarin, ia juga menerima pesanan jahit untuk gamis dan sarimbit baju keluarga.
“Omzet per bulan naik turun, tetapi jika dihitung sekitar Rp12—15 juta,” ungkap Bintari.
Usaha jahit Bintari berkembang pesat dengan omzet dua digit per bulan, bahkan lima kali lipat dari upah minimum kabupaten (UMK) Trenggalek yang saat ini sekitar Rp2 juta. Sebuah prestasi luar biasa untuk usaha rumahan yang dirintis dari nol dalam kurun waktu dua tahun. Saat ini ia pun telah mempekerjakan dua orang penjahit tambahan dari lingkungan sekitar dan menjadi penggerak ekonomi kecil di desanya.
Selain menerima jahitan kustom, tangan kreatif dan jiwa wirausaha Bintari pun terus berputar. Ia pun menjual berbagai aksesoris muslimah, seperti bros, pita, manset lengan, ciput, dan lain sebagainya. Menurutnya, menjual aksesoris tersebut pun bisa menambah penghasilannya.
Ingin Menjadi Kartini
Keterampilan menjahit adalah tonggak kehidupan Bintari yang bisa mengubah hidupnya. Dahulu ia hanya mendapatkan penghasilan per bulan sekitar Rp2 juta saat bekerja di orang. Kini ia bisa mendapatkan penghasilan jauh dari itu dan mengelola usahanya sendiri.
“Mungkin saya masih jauh seperti Kartini, tetapi Kartini pun memulai pergerakannya dari hobinya, yaitu menjahit. Setidaknya saya dan Kartini memiliki kesamaan hobi,” ungkap Bintari.
Tak puas dengan apa yang sudah ia raih, ia pun senang menekuni hal-hal baru. Saat ini ia sedang mengikuti pelatihan bordir dan membuat konten. Menurutnya, hal itu akan menunjang usaha jahitnya agar lebih berkembang.
“Semoga usaha saya pun semakin berkembang dan saya bisa jadi contoh untuk perempuan-perempuan lainnya,” tutur Bintari.
Perjalanan Bintari bukan hanya cerita tentang sukses berwirausaha, tapi juga tentang mimpi untuk menjadi penggerak ekonomi lokal yang menguatkan harapan dan keberanian. Ia adalah bukti bahwa semangat Kartini tetap hidup dalam diri perempuan Indonesia masa kini, yaitu berani bermimpi, mandiri secara ekonomi, dan memberi dampak bagi sekitarnya. (Zia/Dani)