Faradila Bachmid, Sejak Belia Bertungkus Lumus Literasi dan Pendidikan Kesetaraan

Faradila Bachmid, Sejak Belia Bertungkus Lumus Literasi dan Pendidikan Kesetaraan

Manado, Ditjen Vokasi PKPLK - Faradila Bachmid mulai membantu warga putus sekolah sejak usia belasan. Di usia itu ia tidak gentar dirisak preman ketika membuat ruang belajar di terminal. Ia berperahu menghadang ombak agar anak-anak pulau bisa mengakses buku bacaan. Dengan gairah literasi, ia jaga semangat pendidikan tetap nyala, ia pupuk harapan masyarakat agar dapat terus berdaya. 


“Kesukarelaan untuk pendidikan turun dari orang tua saya,” jawab tegas Faradila Bachmid (34) ketika ia ditanya kenapa mau bertungkus lumus membantu warga putus sekolah melalui ruang pendidikan nonformal. 


Faradila tidak dapat memungkiri bahwa nilai-nilai kebajikan tentang pendidikan berkeadilan ia terima dari orang tuanya. Di alam bawah sadar Faradila tertanam pandangan membantu masyarakat lewat jalan pendidikan sama halnya dengan mengangkat derajat hidup masyarakat tersebut. Ia yakin sekali, jika ayahnya bukan guru dan tidak pernah mengajaknya menjadi pengajar sukarelawan di Pulau Gangga, sudah pasti ia tidak akan pernah bersentuhan dengan warga putus sekolah dan mendirikan ruang pendidikan nonformal.


Faradila mencoba mengingat-ingat bagaimana ia sampai terlibat dengan dunia pendidikan nonformal, bagaimana ia bisa mendirikan PKBM Sam Ratulangi yang berada di Kompleks Pasar Paal Dua, Kota Manado. Terkadang ia merasa usahanya mustahil bisa sampai pada titik saat ini, mulai dari membuka ruang belajar gratis bagi anak-anak pasar dan terminal, mengenalkan pentingnya pendidikan bagi warga pesisir, hingga punya kekuatan untuk menggaungkan keberaksaraan di wilayah Sulawesi Utara.




“Kalau orang tua waktu itu tidak mengajak saya ke Pulau Gangga, tidak melihat anak-anak terminal putus sekolah, mungkin saya tidak akan pernah memulai semua ini,” kata Faradila sembari menegaskan bahwa tanpa dukungan penuh dari orang tua ia tidak akan pernah bisa sampai mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sam Ratulangi.


Bermula dari terminal dan pasar


Sekitar tahun 2010 ayah Faradila, Farid Bachmid, kerap bolak-balik dari Manado ke Pulau Gangga di Likupang Dua, Minahasa Utara, membantu masyarakat di sana mendapatkan akses pendidikan layak. Farid selaku guru di Ternate waktu itu mengancang-ancang mendirikan PKBM di Desa Gangga II yang merupakan kampung halamannya sendiri. Untuk sampai ke pulau itu butuh menumpang bus dari terminal Paal Dua Manado ke Likupang untuk kemudian berlayar menuju Pulau Gangga.


“Abah selalu mengajak saya dan umi kalau ke Pulau Gangga dan saya ikut mengajar bahasa Inggris. Waktu itu kami belum punya kendaraan pribadi. Jadi, kami harus naik bus dari terminal dekat rumah menuju Pelabuhan Likupang,” kata Faradila.


Di terminal itulah semangat Faradila berbagi pendidikan bersama warga terbetik tumbuh. Sembari menunggu bus menuju Likupang tiba, ia duduk di bawah sebatang pohon sambil membaca buku dan melihat banyak anak-anak menjadi pedagang asongan, bekerja sebagai kondektur. Ia pun berbincang dengan anak-anak itu dan menanyakan soal status pendidikan mereka.


“Saya bertanya pada mereka, kamu masih sekolah tidak? Untuk makan saja susah, jawab mereka. Saya kira teman-teman di pulau saja yang putus sekolah. Ternyata di perkotaan juga sama,” kata Faradila.


Perbincangan dengan anak-anak terminal menjadi buah pikiran bagi Faradila. Ia berpandangan jika anak-anak di kepulauan saja bisa bersekolah tentu anak-anak di sekitar terminal yang berdekatan dengan pasar seharusnya lebih bisa. Ia mulai berpikiran untuk membuka ruang pendidikan nonformal di lokasi tersebut dan mendiskusikan kemungkinan itu dengan orang tuanya.


“Rencana awal saya membuka ruang pendidikan di terminal disambut baik oleh abah dan umi. Hanya saja mereka berpesan, mendirikan ruang pendidikan itu butuh kesungguhan,” kenangnya.


Kesungguhan dan totalitas memang sangat ditekankan oleh orang tuanya pada waktu itu. Pasalnya Fadila masih sangat belia dan sedang duduk di bangku kelas III SMA. Orang tuanya mungkin sangsi keinginan untuk mendirikan ruang pendidikan bagi warga sekitar terminal dan pasar itu hanya karena gairah sementara saja.


“Teman sebaya saya pulang sekolah main ke mall, saya nenteng proposal peminjaman ruangan terminal atau pasar. Supaya anak-anak di sekitar pasar dan terminal bisa dapat akses belajar,” kenang Fadila bahwa proposal itu ditujukannya untuk pihak Perusahaan Daerah (PD) Pasar Kota Manado.


“Kurang lebih satu-dua bulan mengajukan permohonan ke PD Pasar, saya dan salah satu teman bertemu dengan wakil wali kota. Dia memberikan memo kecil untuk diteruskan ke pihak PD Pasar,” tukuk Faradila. 


Memo wakil wali kota memang mangkus. Pihak PD Pasar Manado memberikan izin  menyelenggarakan kegiatan pendidikan di salah satu ruang tak terpakai tanpa batas waktu. Ruang itu dibersihkan, dicat ulang, kemudian dimulailah penyelenggaraan kegiatan belajar secara lesehan.


Pernah dilempar telur busuk


“Kalau dipikir-pikir berani juga kerjaan saya dulu. Saya masih kelas III SMA,” kenang Faradila ketika ditanya tantangan membuka ruang pendidikan di sekitar terminal. Pada masa awal didirikan di lokasi tersebut ia harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak setuju anak-anak terminal dan pasar menghabiskan waktu untuk belajar. 


“Awal itu puluhan anak terminal dan pasar ikut belajar. Jadwal belajar bentrok dengan kedatangan bus sore hari. Ada orang-orang yang tidak suka mereka belajar. Tempat kami dilempari telur busuk,” terang Faradila sembari mengatakan bahkan harus menghadapi para preman pasar karena merasa pendapatan mereka berkurang sejak anak-anak ikut belajar. 




Menurut Faradila, sejak anak-anak sekitar terminal dan pasar ikut belajar, mereka memang menghabiskan waktu di ruang pendidikan nonformal itu dan tidak mau lagi bekerja. Mereka kecanduan belajar, membaca buku, dan merasa tempat itu asyik karena ada berbagai kegiatan literasi. Perihal itu membuat preman termasuk beberapa orang tua berang. Tempat belajar mereka bahkan pernah dikencingi dan terpaksa ditutup. Tak habis akal, Fadila pun mendatangi pemuka daerah sekitar terminal (kepala RT) untuk mencari solusi. 


“Kesepakatan didapat, anak-anak bisa belajar selama dua jam dari pukul 4-6 sore,” kata Fadila.


Ketika itu Fadila hanya berpikir bagaimana ia bisa belajar dan berbagi pengetahuan. Ia bahkan tidak mengetahui mengenai legalitas PKBM meskipun ruang belajar bagi masyarakat di Pulau Gangga yang sedang diupayakan ayahnya adalah PKBM.


“Abah dan umi bilang, kalau saya sekadar buka tempat belajar saja tidak akan pernah ada ujungnya. Saya disarankan untuk memberi ijazah untuk pada anak-anak itu,” kata Faradila mempertegas bahwa orang tuanya memberikan saran agar anak-anak terminal harus mendapatkan ijazah untuk melanjutkan masa depan. 


Orang tua kemudian Faradila turut memberikan informasi dan cara yang harus ditempuh untuk mengurus izin penyelenggaraan pendidikan kesetaraan PKBM.


“Empat tahun kami melakukan pendampingan bagi anak-anak sekitar terminal dan pasar. Saya pindah ke tempat lain ketika warga sudah sadar pendidikan itu penting,” tegas Faradila.


Memberdayakan lingkungan tempat tinggal


Dari terminal Faradila membuka ruang pendidikan nonformal di salah satu kampung nelayan pesisir Kota Manado. Ia berpikir perkampungan tempat masyarakat kurang mampu itu membutuhkan pendampingan. Hambatan ekonomi, menurutnya, membuat kesadaran pendidikan masyarakat menjadi lemah. Pendampingan di sekitar kampung pesisiran itu pun dijalankan selama kurang-lebih tiga tahun. Ia kemudian tersadar bahwa lokasi sekitar tempat tinggalnya juga terbelit persoalan pendidikan.


“Ternyata saya terlalu melihat jauh. Semut di ujung lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak. Banyak anak di lingkungan saya hamil di luar nikah, terjerumus narkoba, mereka ternyata juga butuh pendidikan,” terang Faradila akhirnya memutuskan untuk mendirikan PKBM Sam Ratulangi di tempat tinggalnya, Kompleks Pasar Paal Dua, Kota Manado.


Dekat dengan tempat tinggal membuat Faradila lebih intensif memberikan pendampingan bagi warga sekitar. PKBM Sam Ratulangi yang terdaftar pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) tahun 2015 juga memberi makna dalam perjalanan Faradila di dunia pendidikan nonformal. Selaku pendiri sekaligus kepala lembaga, ia terus berusaha berbagi ragam pengetahuan vokasional demi mendorong kemandirian warga. Ia juga membuka berbagai kemungkinan agar ruang pendidikan tersebut didatangi kalangan profesional dan dapat berbagi dengan warga belajar.


“Berbagai kegiatan vokasional untuk masyarakat sudah kami selenggarakan. Kini kami punya kelas barista, kelas ecoprint, kelas memasak, dengan harapan warga belajar bisa mendirikan UMKM,” terang Faradila.


“Kami pernah didukung PLN. Mereka memberikan modal untuk buka usaha. Warga belajar tidak melulu harus punya ijazah, terpenting mereka punya keterampilan. Jadi bisa buka lapangan usaha dan akan lebih bermanfaat untuk orang lain,” tambahnya.




Di PKBM Sam Ratulangi, Faradila juga turut mendorong berbagai program literasi warga. Literasi memang pendekatan ampuh yang selalu ia gunakan untuk menarik minat warga belajar. Ia menggagas program menulis, membaca nyaring, termasuk kegiatan jurnalistik dengan harapan ada di antara warga belajar yang berminat menjadi jurnalis. 


Sampai saat ini kurang-lebih lima belas tahun sudah Faradila berkecimpung membantu masyarakat beberapa daerah sekitar Sulawesi Utara melalui pendidikan nonformal. Kegigihan dan totalitas membuat ia meraih berbagai penghargaan dari pemerintah dan swasta. Ia pun didapuk sebagai Ketua Perkumpulan Literasi Sulawesi Utara serta diamanahi menjadi Duta Baca Provinsi Sulawesi Utara. 


“Saya berharap bisa menjangkau lebih banyak anak putus sekolah. Harapannya angka putus sekolah semakin berkurang. Bukankah berarti PKBM nanti tutup? Tidak. Kelas keterampilan harus ditingkatkan, kelas vokasi harus diperbanyak, kita berharap orang-orang senang membaca buku dan berliterasi,” terang perempuan tangguh yang menjadi panutan pegiat literasi dari Sulawesi Utara ini. (Esha/Gloria/Dani)