Wayang Tak Pernah Padam, SMKN 12 Surabaya Siapkan Dalang Muda untuk Lestarikan Budaya Peradaban
Surabaya, Ditjen Vokasi PKPLK – Wayang adalah salah satu warisan adiluhung dari Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Nilai filosofisnya yang tinggi menjadikan wayang sebagai subjek yang perlu dikenal dan dilestarikan oleh semua lapisan masyarakat.
Di tengah perkembangan zaman yang begitu cepat, perkembangan wayang di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Minat generasi muda yang menurun dan menganggap wayang sebagai hal yang kuno menjadi salah satu situasi yang mengkhawatirkan yang bisa mengancam kelestarian wayang di masa depan. Generasi muda yang cenderung acuh dengan kesenian tradisi menjadi penyebab mengapa minat generasi muda terhadap wayang menurun. Padahal, proses regenerasi penting dilakukan untuk memperpanjang keberadaan wayang sehingga bisa dikenal oleh generasi yang akan datang.
Dalam hal ini, SMKN 12 Surabaya, Jawa Timur, melalui Konsentrasi Keahlian Seni Pedalangan, pun hadir sebagai jawaban untuk membantu regenerasi dalang muda berkualitas. SMKN 12 Surabaya konsisten memberikan ruang bagi generasi muda untuk mendalami seni pedalangan. Pada proses pembelajarannya, para murid tidak hanya diajarkan mengenai teknik seni pedalangan, tetapi juga filosofis wayang, karawitan, hingga pertunjukan wayang.
Guru Konsentrasi Keahlian Seni Pedalangan, SMKN 12 Surabaya, Harnowo, menyampaikan bahwa untuk menarik minat generasi muda untuk menyukai seni tradisi khususnya wayang adalah tantangan yang cukup menantang. Ini diperlukan kolaborasi dengan berbagai hal seperti teknologi agar seni wayang ini bisa menjangkau di kehidupan anak-anak muda. Beberapa tahun terakhir, animo masyarakat khususnya generasi muda terhadap seni pedalangan di SMKN 12 Surabaya mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
“Biasanya kami muridnya empat gurunya banyak. Kemudian ini meningkat dalam satu angkatan ini kami menerima 30 murid pedalangan. Hal yang perlu disyukuri dan perlu dirawat agar mereka menemukan kenyamanan dalam belajar seni pedalangan,” ucap Harnowo.
Sementara itu, Dhaneswara, murid kelas XI Seni Pedalangan, SMKN 12 Surabaya menyampaikan bahwa keputusannya belajar seni pedalangan datang dari dalam dirinya sendiri. Menurutnya, stigma terhadap seni tradisi ini muncul karena banyak yang mengira kalau karawitan, wayang, dan seni tradisi yang lain adalah mistis. Padahal lebih dari itu, seni tradisi adalah gabungan dari irama, rasa, raga, yang menyatu dalam satu pertunjukan sehingga menghasilkan hal yang bermakna dan bernilai tinggi.
“Kebetulan saya dari keluarga seniman dan saya masuk ke SMKN 12 Surabaya itu tidak ada paksaan. Buat generasi muda perlu meluruskan kembali anggapan kalau seni tradisi itu mistis. Mistis karena seni tradisi penuh dengan rasa dan karsa. Filosofisnya tinggi sehingga perlu dikenal oleh generasi muda,” ucap Dhaneswara.
Kepala SMKN 12 Surabaya, Cone Kustarto Arifin, menuturkan bahwa sekolah terus mendorong kreativitas para muridnya untuk mengeluarkan kemampuan-kemampuan terbaiknya. Seni tradisi perlu membuka diri untuk bisa melihat kebutuhan di zaman sekarang dengan tetap menjaga keasliannya.
“Lebih dari sekedar pertunjukan tradisi, wayang adalah filosofis yang tidak dimiliki oleh negara lain. Wayang tak pernah padam dengan seni wayang bisa menghadirkan cahaya kebudayaan yang akan terus menyinari perjalanan peradaban bangsa” ucap Cone. (Aya/NA)