Perkuat Inklusivitas, TBM Lentera Pustaka Fasilitasi Anak-anak Difabel
Bogor, Ditjen Vokasi PKPLK - Sebagai ruang alternatif belajar, bertumbuh, dan berdaya bagi masyarakat, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dapat bertransformasi menjadi ruang bermanfaat bagi semua kalangan dengan menanamkan nilai-nilai inklusivitas. Konsep inklusivitas tidak hanya soal ketersediaan ruang bagi banyak orang, tetapi yang terpenting adalah menciptakan suasana yang mendorong setiap individu merasa diterima, dihargai, dan memiliki hak yang sama dalam mengakses ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Dalam konteks TBM, inklusivitas berarti membuka pintu selebar-lebarnya untuk anak-anak, remaja, orang tua, penyandang disabilitas, kelompok minoritas, perempuan, masyarakat adat, hingga warga lansia. Hal inilah yang coba dicontohkan oleh TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak, Bogor. Saat ini ada dua orang anak difabel yang secara rutin datang ketika jam baca dibuka.
Syarifudin Yunus selaku pendiri TBM Lentera Pustaka mengungkapkan anak-anak difabel tersebut sudah bergabung menjadi anggota sejak tahun 2021 diantarkan oleh orang tua mereka. Ia mengungkapkan banyak perubahan yang terjadi ketika dua anak difabel tersebut berkunjung.
“Mereka menjadi anak yang lebih ceria dan penuh energi. Sangat rajin datang ke taman bacaan. Selain agar dekat dengan buku, kedua anak difabel TBM Lentera Pustaka menjadikan taman bacaan sebagai tempat interaksi sosial dan aktualisasi diri. Agar hidupnya lebih semangat dan merasa dihargai oleh lingkungan sekitar,” sebagaimana ditulis Syarifudin.
Menurut Syarifudin, tidak banyak TBM yang menyediakan ruang untuk difabel karena membutuhkan penanganan khusus. Selain itu TBM harus punya "doktrin yang kuat" soal memperlakukan anak-anak difabel. Utamanya adalah aturan agar mereka yang berkebutuhan khusus tidak mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan seperti bullying. Ia mengungkapkan bahwa TBM Lentera Pustaka memang bertekad memberi ruang bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus tidak hanya untuk membaca tapi untuk bergaul.
“TBM Lentera Pustaka mengambil peran khusus untuk anak difabel. Bahwa setiap anak posisinya sama dan setara, harus saling menghormati. Adab yang sengaja diajarkan di taman bacaan. Soal cara memperlakukan orang lain yang dianggap tidak normal,” terang Syarifudin.
Pimpinan TBM Lentera Pustaka tersebut mengatakan bahwa anggota mereka yang difabel memang tidak membaca saat datang ke sana. Tapi mereka bermain dengan rekan sebaya. Ia mengungkapkan banyak interaksi yang terjadi antara anak-anak difabel dengan mereka yang dengan anak-anak normal lainnya.
“Mereka semua mampu aktualisasi diri. Yang paling penting, ada rasa dimanusiakan oleh manusia lainnya karena di luar sana, mungkin, anak-anak difabel kian tersingkir dari lingkungan sosial. Anak difabel yang didiskualifikasi tanpa sengaja dari akses dan aktivitas kehidupan sosial,” terangnya
TBM memang menjadi salah satu ruang yang dapat mengembangkan kapasitas masyarakat dalam hal kesadaran sosial dan budaya. Pembelajaran soal keberagaman, kesetaraan gender, dan aksesibilitas dapat dihadirkan di ruang tersebut sebagai membangun pelayanan publik yang empatik dan adil. Dengan komitmen terhadap inklusivitas, TBM dapat bertransformasi menjadi ruang yang tidak hanya mendekatkan buku kepada masyarakat, tetapi juga mendekatkan manusia satu sama lain dalam semangat saling memahami dan menghargai. (Esha/Dani)